World Class University Ambisi Besar Untuk Pendidikan
Oleh: Kastrat HMPG FIS UNY 2018
Go International merupakan agenda besar bangsa Indonesia yang sedari
dulu selalu diidam-idamkan. Untuk mengibarkan kembali harga diri bangsa di
mata dunia, bukan merupakan sebuah
kesalahan ketika bangsa ini masih berlomba-lomba mencuri perhatian masyarakat
dunia. Lewat ajang-ajang bergengsi kita bertarung dalam memenuhi
standar-standar simbolik yang dibuat oleh lembaga internasional. Mulai dari
bidang olahraga, industri, teknologi, ekonomi melalui produk domestik
bruto-nya, dan lain sebagainya.
Kekhawatiran perlu dimunculkan
ketika Human Development Index (HDI) juga turut dijadikan sebagai tolak ukur
negara maju, bukan simbolik memang. Komponen HDI ada tiga macam yaitu; 1) angka
harapan hidup, 2) tingkat pendidikan, dan 3) pendapatan per kapita. Sangat
merepresentasikan masyarakat madani bila dilihat sekilas, namun ketika mau
membukanya sedikit saja, akan banyak sekali celah pada komponen tersebut yang
jatuhnya bukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun sebaliknya
justru sebatas target simbolik. Seperti Produk Domestik Bruto (PDB) untuk
mengukur pertumbuhan ekonomi dan World Class University sebagai tolak ukur
pendidikan tinggi yang berkualitas.
Dikutip dari
diktis.kemenag.go.id (2015), tema World Class University (selanjutnya akan
disingkatmenjadi WCU) menjadi perbincangan yang hangat di kalangan perguruan
tinggi. Terdapat sebuah wacana besar bahwa perguruan tinggi di Indonesia baik
negeri maupun swasta berupaya menjadi kampus berkelas dunia agar dapat bersaing
dengan perguruan tinggi di luar negeri, serta menghasilkan lulusan yang syarat
akan kecakapan profesi yang mampu bersaing di kancah internasional. Argumen
tersebut bermula dari kenyataan-kenyataan yang ada belakangan ini akibat dampak
globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan bernegara.
WCU juga kerap didefinisikan
pada penilaian, perankingan, dan pengakuan yang berskala internasional pada
universitas di berbagai negara. Tolak ukur pengakuan internasional WCU, menurut
Levin (2006 et al) antara lain:
1.
Keunggulan penelitian (excellence in research), yaitu
kualitas penelitian, produktivitas dan kreativitas, publikasi hasil penelitian,
banyaknya lembaga donor yang bersedia membantu penelitian, adanya hak paten,
dan sejenisnya.
2.
Kebebasan akademik dan atmosfer kegembiraan intelektual.
3.
Pengelolaan diri yang kuat (self-management).
4.
Fasilitas dan pendanaan yang cukup memadai, termasuk
berkolaborasi dengan lembaga internasional.
5.
Keanekaragaman (diversity), antara lain kampus harus
inklusif terhadap berbagai ranah sosial yang berbeda dari mahasiswa, termasuk
keragaman ranah keilmuan.
6.
Internasionalisasi, misal internasionalisasi program dengan
meningkatkan oertukaran mahasiswa, masuknya mahasiswa internasional atau asing,
internasionalisasi kurikulum, koneksi internasional dengan lembaga lain (kampus
dan perusaan di seluruh dunia) untuk mendirikan program berkelas dunia.
7.
Kepemimpinan yang demokratis, yaitu dengan kompetisi terbuka
antar-doses dan mahasiswa, juga
kolaborasi dengan konstituen eksternal.
8.
Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
9.
Kualitas pembelajaran dalam perkuliahan.
10. Koneksi dengan masyarakat
atau keebutuhan komunitas
11. Kolaborasi internal kampus.
Tolak ukur diatas bertujuan
untuk membuat rangking yang menempatkan sebuah perguruan tinggi berada pada
kualifikasi tertentu. Peringkat dan ranking ditentukan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam menentukan indikator WCU, salah satunya adalah Times Higher
Education Supplement (THES). Dengan kata lain, kalau kampus-kampus di Indonesia
ingin menjadi universitas berkelas dunia, semua resources kampus tersebut
sedang diupayakan untuk naik kelas dalam pemeringkatan THES.
Pengharkatan tolak ukur yang
dilakukan oleh lembaga seperti THES bukannya kebal kritik. Keberatan atau
kritik atas metode pemeringkatan universitas berskala internasional diduga
karena adanya hegemoni korporasi dan intelektual yang secara kasat mata tapak
pada fakta bahwa perusahaan yang bergerak di pemeringkatan universitas itu
adalah multinational corporate. Bahkan, bagi beberapa pakar standarisasi kampus
secara internasional itu sebenarnya paradoks dalam globalisasi.
Ketika kemungkinan untuk
menunjukkan identitas yang berbeda terbuka lebar, nilai-nilai toleransi
ditebar, hingga muncul pluralitas kebudayaan dalam bentuk multikulturalisme, di
sisi lain terdapat upaya besar-besaran untuk memunculkan (1898-1979) hanya satu
bentuk kebudayaan, yang oleh Herbert Marcuse disebut sebagai denomena
“One-Dimensional Man”. Yakni praktik untuk menggiring masyarakat pada satu
sistem yang sama, yakni sistem kapitalis melalui pendidikan, media, dan
lainnya.
Keberatan lain terhadap
indikator dan kriteria yang digunakan THES adalah kecenderungan untuk apolitik.
Mereka mendasarkan pada cara pandang pendidikan liberal bahwa ranah dan praksis
pendidikan netral dari kepentingan politik, ekonomi dan ideologi. Oleh karena
itu, indikator dan kriteria kampus berkualitas yang mereka gunakan sama sekali
tidak menunjukkan perlunya kampus ikut berperan dalam transformasi sosial,
kultural dan politik sebuah negara. Tidak ada indikator kampus untuk penguatan
budaya bangsa, modernisasi keagamaan, memperkuat nilai-nilai nasionalisme,
kerakyatan dan sejenisnya. Kalau kampus-kampus di Indonesia mengikuti kriteria
tersebut, bisa jadi lambat atau cepat akan mengkikis kesadaran nasionalisme dan
berbangsa segenap sivitas akademika kampus.
Pandangan pro dan kontra
terhadap pemeringkatan dan orientasi WCU, perlu dicari solusi dan sintesa yang
memadai. Fakta bahwa perbedaan metodologi, kriteria dan indikator penilaian
antar lembaga pemeringkatan, mestinya menyadarkan bahwa masing-masing pihak
memiliki cara pandang yang berbeda satu sama lain. Masing-masing punya landasan
filosofi dan ideologi yang berbeda dalam mendefinisikan kampus yang
berkualitas.
Kemandirian dalam mengelola
ide dan gagasan tentang kualitas pendidikan tinggi perlu dirumuskan secara
bersama-sama. Menuju WCU mungkin hanya menjadi wasilah (status), bukan ghayah
(tujuan), bagi peningkatan kualitas di berbagai bidang. Secara pendidikan tinggi untuk
menjadi world class university salah satu jalannya dapat ditempuh dengan
Internasionalisasi, khususnya internasionalisasi kurikulum. Kurikulum menurut
PP No. 15 Tahun 2015 tentang standar nasional pendidikan, adalah: ‘seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu’. Dalam agenda internasionalisasi kurikulum sangat memberikan peluang bagi
lembaga internasional untuk meng-hegemoni
tujuan pendidikan nasional bangsa Indonesia, yang dalam praksis nya belum tentu
sejalan dengan tujuan pendidikan nasional kita. Melalui cara yang sistematis :
kurikulum.
Hegemoni
Teori hegemoni menerangkan tentang
pengaruh supremasi satu kelompok atau lebih atas lainnya dalam setiap hubungan
sosial. Supremasi bisa diartikan sebagai hak yang dimiliki oleh suatu golongan
untuk dipatuhi secara mutlak oleh golongan yang lainnya. Hegemoni lebih
dikhususkan pada satu kelompok kecil yang memiliki hak tersebut. Istilah
hegemoni juga dikarakteristikkan sebagai “pengaruh kultural”, tidak hanya
“kepemimpinan politik dalam sebuah sistem aliansi”.
Teori hegemoni dibangun di
atas preis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam
kontrol sosial politik. Menurut Antonio Gramsci (1891-1937), agar yang dikuasai
mematuhi penguasa, yang dikuasainya tidak hanya harus merasa mempunyai dan
menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga
harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci
dengan “hegemoni” atau menguasai dengan “kepemimpinan moral dan intelektual”
secara konsensual. Dalam konteks ini, Gramsci secara berlawanan mendudukan
hegemoni, sebagai satu bentuk supermasi satu kelompok atau beberapa kelompok
atas yang lainnya, dengan bentuk supermasi lain yang ia namakan “dominasi”
yaitu kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik.
Kapitalis
Kapital dapat diartikan sebagai
modal. Kapitalis dapat diartikan sebagai pemilik modal yang menjalankan usaha
ekonomi. Kapitalisme merupakan paham yang memerdekakan pemilik modal untuk
mengembangkan usaha ekonomi yang dimilikinya. Sistem atau paham ini membiarkan
segenap masyarakat untuk mengembangkan bisnis yang dimilikinya tanpa
memperhatikan segenap hak-hak pekerja dan lingkungan disekitarnya.
Secara umum, Teori Kapitalis
bercirikan individu yang menjadi pemilik bagi apa yang dihasilkannya. Orang lain
tidak memiliki hak. Ia berhak untuk melaksanakan kewajiban semua alat produk
yang dapat dicapainya dengan usahanya sendiri, berhak untuk tikdak
mengeluarkannya, kecuali dengan jalan yang memberi keuntungan padanya. Teori
tersebut 0bertitik tolak pada egoisme,yang hanya cinta pada diri sendiri.
Apabila ditinjau dari sudut
ekonomi, bukan dari sudut moral, bahwa salah satu pembawaan dari teori
kapitalis, ialah rusaknya keseimbangan dalam pembagian kekayaan diantara
individu-individu dan tertumpuknya alat-alat produksi ditangan satu kelompok
yang merupakan satu kelas yang paling mewah dan paling unggul.
Masyarakat kapitaalis praktis
menjadi dua kelas yakni kelas hartawan dan miskin, kelas hartawan menguasai
sumber-sumber kekayaan dan bertindak sekehendak hantinya, serta tidak
mempergunakannya kecuali untuk kepentingan pribadinya. Sehingga kepentingan
masyarakat dikorbankan demi untuk menambah kejayaan. Maka orang-orang miskin
tidak lagipunya kesempatan untuk memperoleh sumber-sumber kekayaan kecuali
hanya untuk memperoleh kebutuhannya, demi kelanjutan hidup.
Kesadaran
Siapapun yang berdedikasi untuk
pengembangan diri, pengembangan kepribadian ataupun cita-cita tertinggi dalam
pertumbuhan spiritual harus digiatkan secara aktif, untuk dapat mengerti diri
sendiri. Definisi kesadaran diri adalah:
Kesadaran diri merupakan
kapasitas yang dimiliki seseorang untuk introspeksi.
Memperoleh pengertian dan
pengetahuan mendalam tentang kekuatan, kualitas, kelemahan, kekurangan, ide,
pemikiran, keyakinan, idealisme, respon, reaksi, sikap, emosi, dan motivasi
seseorang.
Pandangan mengenai orang
lain terhadap diri sendiri.
Pengaruh tingkah laku, reaksi, dan tabiat pada orang lain.
Kesadaran merupakan realitas manusia
dalam membentuk konsep “dunia” tempat mereka tinggal. Kesadaran memiliki
atribut dalam merespon gejala yang asing (waking states), mood,
hubungan antar orang (affection), ingatan (memories), pikiran (though),
perhatian (attention), dan kehendak (volition). Sehingga kita
menjadi setuju bahwa kesadaran merupakn konsep dasar dalam belajar dan
menjabarkan (learning and reasoning), berpikir dan menilai (thought
and judgement), dan merekam segala peristiwa yang dialami oleh diri
seseorang, memungkinkan dirinya untuk berinterospeksi darinya dan belajar
secara langsung untuk menilai suatu tindakan.
Daftar Pustaka
Magnis-Suseno F. 2016. Dalam bayang-bayang Lenin. Gramedia
Pustaka : Jakarta.
Dewantara,
Ki Hadjar. 1962. Karya Ki Hadjar
Dewantara Bagian Pertama : Pendidikan. Madjelis Luhur Taman Siswa :
Jogjakarta.
diktis.kemenag.go.id (2015) diakses
pada tanggal 22 Februari 2018 pukul --:--
PP No. 15 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Komentar
Posting Komentar