Serial Diskusi Pendidikan #1: Kebebasan Akademik dan Jam Malam di Kampus
Salah satu usaha
Pemerintah Indonesia dalam memajukan bangsa adalah dengan menyelenggarakan
pendidikan tinggi. Sesuai dengan pertimbangan dalam UU RI No 12 tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi poin b, “pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan
menerapkan nilai humaniora, serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia
yang berkelanjutan.” Institusi penyelenggara pendidikan tinggi seperti
universitas memiliki hak dan tanggung jawab dalam melaksanakan amanat
pemerintah tersebut. Namun terdapat dinamika dalam pelaksanaannya, salah
satunya adalah permasalahan kebebasan akademik yang menemui titik pro-kontra.
Pada UU RI No 12
Tahun 2012 pasal 8 ayat (1) dan pasal 9 menjelaskan bahwa: “dalam penyelenggaraan
Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan
akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan” dan “Kebebasan
akademik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) merupakan kebebasan
Sivitas Akademika dalam Pendidikan Tinggi untuk mendalami dan mengembangkan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara bertanggungjawab melalui pelaksanaan
Tridharma.”
Konsep Pemerintah
Indonesia yang termaktub dalam UU RI No 12 sejalan dengan akar pemikiran John
Dewey (1859 – 1952) bahwa pendidikan adalah suatu alur progres, dan merupakan
gerakan itu sendiri, tiada tujuan akhir, dan selalu bergerak. Oleh karena itu
suatu Ilmu Pengetahuan selayaknya terus berkembang mengikuti alur peradaban
manusia sehingga tidak berjalan ditempat dan tanpa tujuan akhir. Pendidikan
terdiri dari instrumen yang membangun suatu organisme, terdiri dari ide-ide
untuk pemecahan permasalahan.
Sehingga muncullah
istilah kebebasan akademik atau hak otonom kepada seluruh universitas untuk
mengembangkan kebebasan akademik. Karena sebuah Ilmu Pendidikan adalah suatu
progres kemajuan untuk selalu berkembang. Hak otonom memberikan kesempatan
universitas untuk melaksanakan kewajiban yang telah tertulis di UU tersebut.
Akan tetapi celakanya pada saat yang sama pemerintah juga memberikan
pembatasan-pembatasan ruang gerak pengembangan Ilmu Pengetahuan yang juga mampu
menjadi alat pembunuhan motivasi pengembangan Ilmu Pengetahuan.
Seperti contoh aturan
tentang 1 sks yang menjadikannya kurang optimalnya pengembangan Ilmu
Pengetahuan. Karena secara teknis memberikan batasan waktu kuliah dan
ketidaksesuaian praktik pendidikan tinggi dengan filsafat kebebasan akademik.
Pihak yang dirugikan adalah agen pengembangan pendidikan, yaitu mahasiswa dan
dosen. Terdapat suatu aturan yang dinilai mematikan motivasi pengembangan Ilmu
Pengetahuan yang sejalan dengan kebebasan akademik, pada filsafat kebebasan
akademik.
Pada dasarnya
sebuah sistem filsafat memiliki ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang
berfungsi untuk menjelaskan keteraturan yang telah diharapkan. Bila ditemui
kasus yang mencegah praktik filsafat yang dicetuskan tersebut maka, kondisi
ideal yang berusaha untuk diwujudkan akan menjumpai suatu kesenjangan. Dalam
kasus ini ketidaksesuaian kebebasan akademik dengan sikap pemerintah yang tidak
memberikan kebebasan tersebut.
Dalam forum
diskusi terdapat gagasan bahwa perlu ada upaya sadar baik dari pelaku pendidika
tinggi, yaitu mahasiswa dan pemerintah. (1) Mahasiswa adalah agen pendidikan
tinggi yang berpotensi untuk menjungkirbalikkan sistem, termasuk dalam
kebebasan akademik. Maka mahasiswa yang menikmati sistem kebebasan akademik
yang menjumpai kejanggalan pada sistem tersebut harus berupaya dalam berinovasi
juga. Sudah selayaknya untuk turun serta menjadi bagian dari masyarakat. (2)
Kemudian pada perspektif pemerintah haruslah menyadari gejolak revolusi
industri 4.0 yang ditandai dengan gerak cepat tanpa hambatan. Komersialisasi
pendidikan yang berusahaa untuk dipertahankan, kini sudah tidak relevan.
Berbagai informasi sudah sangat mudah diakses, jadi bila pemerintah masih
menutup diri seperti memberi pembatasan kebebasan akademik maka daya pikir
pemerintah dirasa tidak sejalan. Berdasarkan revolusi industri 4.0 terdapat
penyadaran di kalangan mahasiswa terhadap berbagai bahaya komersialisasi
pendidikan yang berusaha diarahkan pada kepentingan tertentu.
Selanjutnya
gagasan lain muncul seperti meskipun kebebasan akademik memang sebuah urgensi
yang seharusnya segera untuk diwujudkan, namun payung norma harus tetap
dipertahankan untuk terhindar dari permasalahan sosial lokal. Kebebasan
akademik sah-sah saja bila upaya pengembangan pendidikan masih mempertahankan
kaida-kaidah norma di masyarakat. hal ini juga mencoba untuk menjelaskan bahwa
baik komersialisasi pendidikan maupun kebebasan akademik dilarang keras untuk
diberdayakan sepernuhnya oleh insititusi pendidikan. Karena kendali dalam
penyelenggaraan pendidikan harus tetap berasal dari masyarakat Indonesia.
Skala perhatian
kebebasan akademik yang lebih detail menjelaskan bahwa pada jajaran birokrat
universitas sendiri memiliki ketidakpercayaan terhadap mahasiswa. Kebijakan
tersebut merupakan modus pembatasan akademik. Birokrat universitas pun dinilai
memiliki sifat yang tertutup terhadap kesenjangan tersebut, padahal jelas bahwa
pihak yang dirugikan adalah mahasiswa.
Upaya yang dicoba
untuk digagasan adalah pembukaan Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) untuk 24
jam atau istilah jam malam. Mahasiswa yakin bahwa pembukaan selama 24 jam
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kreativitas mahasiswa. Karena
kebijakan ini setidaknya sebuah langkah yang efektif untuk diadakannya forum di
mahasiswa dan kegiatan lainnya. Pandangan negatif , seperti: jam malam
merugikan masyarakat sekitar, direspon secara pesimis oleh mahasiswa bahwa
kegiatan malam tidaklah mengganggu masyarakat sekitar dan tidak menimbulkan
kegaduhan yang potensial. Ditambah pembatalan kegiatan jam malam sebenarnya
merupakan upaya negatif, karena soalah-olah mahasiswa hanya dijejaki kuliah
teori pada siang hari, dan tidak diberikan waktu lebih untuk mahasiswa dalam
mengembangkan praktik di luar kuliah.
Sebuah asumsi dan
prediksi pun muncul. Bisa jadi pembatasan waktu kuliah adalah upaya untuk
membatasi gerakan mahasiswa. Pergerakan dan kreativitas mahasiswa dibatasi
dengan adanya peraturan jam malam dan kuliah dari pagi sampai sore. Sehingga
energi yang tersalurkan pada kegiatan yang bersifat mencerdaskan secara
intelektual kalangan mahasiswa.
Pandangan terhadap
mahasiswa yang dicoba dibangun oleh universitas adalah mahasiswa yang jauh
darimasyarakat. Seolah-olah mahasiswa dicetak sebagai generasi yang mengikuti
sistem aturan dan bersifat egois. Karakter ini menjadi branding yang diberikan
kepada mahasiswa oleh masyarakat.
Alternatif dari
permasalahan tersebut adalah sebuah upaya komunikasi yang seharusnya lebih
intensif antara mahasiswa dengan birokrasi universitas. Jalan tengahnya adalah
baik mahasiswa maupun birokrasi saling berargumen terkait baik-buruknya sebuah
pandangan yang ada. Birokrasi harus bersifat terbuka dan mau menerima
saran-saran yang diajukan oleh mahasiswa, namun juga vice versa. Mahasiswa
seharusnya selain kritis terhadap usulan jam malam juga harus tahu dampak jangka
panjang yang akan ditimbulkan terhadap kebijakan yang dicoba untuk diusulkan.
Apakah terdapat suatu permasalahan sosial yang lain atau tidak.
Terlepas dari
tuntutan mahasiswa terhadap kebijakan kebebasan akademik, perlu sebuah upaya
filosofis yang harus dilakukan. Harus muncul sebuah kesadaran dan inisiasi
untuk merubah kecacatan sistem dengan upaya pewujudan kebebasan akademik.
Kebebasan akademik seharusnya menjadi sebuah batu pijakan bagi manusia untuk
menjadi manusia, bukan menjadi robot yang serba diatur dan serba disetting
sedemikian rupa. Sebagai homo academicus sekaligus
khalifah di muka bumi, hanya manusia yang diberikan akal rasional untuk
mempertimbangkan baik-buruk dan terus mengembangkan apa yang diketahui oleh
manusia dalam sebuah ilmu pengetahuan. Sebuah perilaku yang tidak mengindahkan
kebebasan akademik bila sifat homo
academicus yang dibawa secara natural dimatikan dan diubah menjadi sarang
pemikiran dan sarang kepentingan tertentu yang mencekoki terus menerus hal-hal
non manusiawi.
Jam malam hanya menjadi bagian kecil dari usaha praktik pembebasan manusia dalam sistem yang mecoba untuk tidak memberi kebebasan. Kebebasan dari sebuah peraturan yang mencoba untuk memplotkan jenis-jenis tertentu manusia. Atau sebuah mesin cetak kasat mata yang mencoba untuk menyeragamkan dan membagi manusia menjadi kelompok golongan yang fungsional satu-sama-lain. (red: Gee)

Komentar
Posting Komentar